Akhir-akhir ini aku banyak membaca tulisan-tulisan dari internet untuk membantu pemahaman diri. Ada satu artikel yang paling mengusikku dan membuat jari-jariku ingin menari lagi di atas laptop. Artikel itu mengenai non-attachment atau letting go, melepaskan kelekatan-kelekatan duniawi yang selama ini mengikat kita dalam bentuk keinginan-keinginan. Misalnya, keinginan untuk selalu sukses dan berhasil dalam pekerjaan, atau keinginan untuk diperlakukan sedemikian rupa dari pasangan. Saya ingin berfokus pada apa yang barusan ini saya alami terkait hubunganku dengan seseorang. Ini bukan tulisan yang mudah bagiku dan banyak orang yang tidak tahu mengenai ini, tapi aku akan mencoba untuk menyalurkan keluar apa yang aku alami sebisaku.
Salah satu kelekatan duniawiku adalah keinginan untuk dicari, diinginkan, dibutuhkan, diperhatikan. Tulisan ini bukan untuk memahami apa yang menyebabkan kelekatan itu padaku karena penyebab itu sudah pernah aku tuangkan di sarana lain dan juga karena penyebab itu personal buatku. Untuk saat ini, melalui tulisanku aku hanya bisa jujur mengenai kelekatan duniawiku, kerapuhanku.
Selama sekitar dua tahun terakhir ini aku menjalin hubungan dengan seseorang yang menurutku suatu hubungan roller-coaster, penuh naik dan turun, penuh gelombang, gejolak, tarik-menarik, kebimbangan, ketidakpastian. Mungkin bisa dikatakan bukan suatu hubungan yang sehat bagi kami berdua. Selalu ada yang mengganjal hubungan kami, seperti ada suatu ruang di tengah kami yang memisahkan. Saat berada di ruang kami sendiri-sendiri, maka kami baik-baik saja. Tapi begitu aku mencoba mendekati dan mulai masuk ke ruang yang di tengah kami itu, maka aku masuk ke ranah roller-coaster itu, naik turun, jatuh bangun, bagaikan sedang berada di tengah laut yang bergejolak dengan gelombang ombak yang besar menggoncang kami.
Bila aku telaah lagi dan melihat ke belakang, yang aku lihat menonjol dari sisiku adalah kelekatan-kelekatan yang aku sebut di atas itu, yang dengan berjalannya waktu berwujud tuntutan-tuntutan baginya. Dan karena cara kami berelasi dan juga mungkin karena kepribadian kami, entah bagaimana awalnya, pokoknya aku merasa keinginan-keinginanku itu tidak terkabulkan, dan itu malah tambah memicu lagi kekuatan dari kelekatan itu. Penafsiranku waktu itu adalah aku ditolak oleh dia, aku tidak diinginkan, aku tidak dibutuhkan, tidak diperhatikan, dan seterusnya. Parahnya, karena ini adalah suatu kelekatanku terhadap keinginan itu, yang terjadi bukannya aku pergi dan meninggalkan hubungan itu, aku malah bersikeras untuk lanjut terus dan kelekatanku juga semakin menjadi-jadi. Mungkin hampir mirip semacam obsesi jadinya bagiku di awal hubungan kami. Itu menjadi dance-ku dengannya selama mungkin dua tahun lebih. Aku bolak-balik antara menyalahkan diriku sendiri dan dia. Selama proses itu memang aku mencoba terus untuk menyadari diri, memperbaiki diri, dan seterusnya. Bacaan demi bacaan aku lahap, retret demi retret aku ikuti, dan memang aku merasa ada perubahan dalam diriku, bahwa aku menjadi lebih baik dengan berjalannya waktu. Akan tetapi, aku merasa tidak bisa memperbaiki diri lebih baik lagi bila terus berada dalam posisi dimana aku terus diingatkan akan kelekatanku.
Barusan ini aku diingatkan lagi betapa lemahnya aku dengan kerapuhanku. Masih banyak yang masih perlu aku pahami dan terus upayakan untuk belajar memahami diri dan memperbaiki diri. Jujur, aku kadang merasa sangat sangat lelah dengan semua proses ini. Jauh lebih mudah mungkin untuk menyerah saja, pergi saja, tinggalkan dia, tinggalkan semuanya. Tapi ada bagian dari diriku yang membisikkan untuk jangan menyerah, karena pasti ada makna indah dari semua ini. Hanya harapan itu yang bisa aku ingatkan diriku terus supaya tidak menyerah.
Apa yang akan terjadi dengan hubungan kami ini, entahlah. Sebagai bagian dari proses melepaskan kelekatan duniawi ini, aku juga mulai belajar melepaskan hal-hal yang tidak bisa aku kontrol, termasuk keinginannya dan keinginanku yang sepertinya tidak cocok. Belajar melepaskan, bukankah itu kuncinya? Maka apa yang akan terjadi, terjadilah. Ini sudah pernah aku katakan kepada diriku sebelumnya, tapi mungkin bedanya antara perkataanku yang dulu dan yang sekarang adalah…sekarang ini aku lelah sekali. Aku sudah capek jatuh terus. Aku capek kecewa terus. Aku capek karena kepalaku terbentur terus karena memilih untuk berjalan secara buta. Aku capek karena memilih untuk terus berada dalam posisi “menginginkan” dan berharap dia akan menerimaku, menginginkanku, mencariku, dst. Mungkin kelelahan inilah yang akhirnya membuatku sadar bahwa ini saatnya bagiku untuk melepaskan semua harapan itu, karena semua kelekatan itu menjadi sumber ketidakbahagiaanku.
Apakah aku masih mencintainya? Dulu aku pernah mengatakan bahwa aku bingung, tidak tahu sebenarnya alasan aku berpegang terus padanya dan hubungan itu — apakah karena aku memang mencintainya atau karena tidak ingin melepaskan rasa ingin menguasai hubungan itu yang dipengaruhi oleh ketakutanku untuk ditinggal atau ditolak. Saat ini, aku sadar bahwa selama ini yang lebih kuat mempengaruhi keputusanku untuk terus lanjut adalah alasan kedua, yaitu tidak ingin melepaskan. Ketakutanku akan “kesendirian” tanpa ada yang mencintai dan menerimaku jauh lebih kuat selama ini. Tapi, dalam beberapa hari ini dengan lebih banyak waktu untuk merenung, yah, aku menyadari memang ketakutan itu ada dan sudah aku temukan dan bawa ke alam sadarku. Akan tetapi, aku juga menyadari masih ada rasa sayang yang tersisa. Apakah itu cinta? Mungkin. Apakah itu akan cukup kuat untuk bertahan dan dengan berjalannya waktu akan semakin kuat untuk mengalahkan kerapuhanku? Hanya waktu yang bisa menjelaskan.
Namaste.
Tulisan di atas terinspirasi oleh: The Art of Non-Attachment: How to Let Go and Experience Less Pain by Lachlan Brown di Hackspirit.com
You must be logged in to post a comment.