The Old Bike


I used to have an old bicycle
and there was a time in my life
when many late afternoons
were spent on that bike 
exploring neighborhood after neighborhood 
following the direction where 
the sun was setting

It was as if I was searching for something 
though unclear what,
turning on what seems to be unending 
roads, bends, junctions, pathways 
but the more I pedaled that old bike
the more out of breath I became and
eventually confused in finding my way back

nowadays, on some days
it feels like I’m still riding that damn bike
absent mindedly still following where
the sun is setting

The poem above is responding to two prompts that I chose: bicycle and explore. I picked those two based on the instruction from #NaPoWriMo2021 for Day 3 (which will show on my blog as the entry for Day 4 because of the time difference in Asia and where the instruction came from, which I’m assuming from somewhere in the west part of the world).

The instruction says that we need to create our own “Personal Universal Deck,” and then to write a poem using it. Basically, I will need to choose 100 words on a 50 index cards or small pieces of paper (write one on the front and one on the back of each card/paper). Once I have my personal universal deck ready, I will shuffle it a few times and then select a card or two. Whatever words that are written on the card that I choose, they are it!

I thought it was a good idea. And it worked!

#NaPoWriMo2021 – Day 4.

Symbol of Freedom

(Scroll down for Indonesian translation – Turun ke bawah untuk versi terjemahan Bahasa Indonesia)

I read an article today about a book review. It doesn’t matter what the title of the book is or who wrote it, but there is a line in that review that caught my attention. It says that the story protagonist’s symbol of freedom is a swing in front of her house. Perhaps it means that whenever the character sits on the swing, she feels free.

That line made me asked myself, what is my own symbol of freedom?

I’ve been racking my brain trying to find the answer to that question and nope, still haven’t found one yet. I tried to remember when was the last time I felt that feeling of freedom, of feeling very very free. Or even times in the past whenever I felt free. That’s when I found one.

For sure every time I went on a trip in the past, I felt that feeling, especially a long trip that involved a little bit feeling of adventure. I think the last time I felt like that was on my trip to Germany in 2018. I went on that trip on my own from Surabaya, Indonesia to Hannover, Germany, and when I arrived in Hannover, it was almost midnight. I had to take a train from the airport to the hotel downtown with no clue how to get to the hotel, so had to ask some people. I completely remember the thought and emotion that came to me as I was walking out of the train station to the hotel dragging my suitcase. I looked around me, saw how there were only very few people on the street, and thought, “This would never happen to me in my country. I doubt I could travel ALONE in the middle of a very quiet night going to some place I’ve never been to and not feeling afraid at all.” Yes, I did not feel afraid at all. Instead, I felt free! For a person like me growing up in a country where freedom like that for women and feeling safe is very very rare, so I treasured that moment. I remember stopped my walk for a few minutes, sat down at a bench nearby, and then just inhaled-exhaled my surroundings.

In other words, my personal definition of freedom is to be able to do something that I otherwise could not do because of social restrictions that are often put up by society for women in my country. Other people may have their own definition of freedom, but this is mine, based on my story above.

But I haven’t answered my question about symbol of freedom, have I?

I guess I don’t have a specific symbol. For me, it’s more about the ACTION, being able to do something that I normally could not do. The reason for me not being able to do it is not necessarily because there is a rule restricting it, but it’s more because of my perception, influenced by the cultures that I absorb consciously or unconsciously throughout my life.

Since I don’t have that many symbol of freedom in the form of action that I can think of, perhaps my next task is to discover more ACTION where I can feel that sense of freedom. I’m sure I have more. I just have to redefine them also as actions of freedom.

_____________________________________________________________________________________________

Terjemahan Indonesia:

Saya membaca suatu artikel hari ini tentang ulasan buku. Tidak masalah apa judul buku itu atau siapa penulisnya, tetapi ada suatu kalimat dalam ulasan itu yang menarik perhatian. Dikatakan bahwa simbol kebebasan bagi tokoh protagonis di buku itu adalah ayunan di depan rumahnya. Mungkin yang dimaksud adalah setiap kali si protagonis duduk di ayunan, dia merasa bebas.

Kalimat itu membuat saya bertanya pada diri sendiri, apa simbol kebebasanku?

Saya sudah memeras otak untuk menemukan jawaban pertanyaan itu dan masih belum menemukan. Saya mencoba mengingat kapan terakhir kali saya merasakan perasaan kebebasan itu, merasa sangat sangat bebas, atau bahkan kapan saja di masa lalu setiap kali saya merasa bebas. Saat itulah saya menemukan satu cerita.

Yang pasti setiap kali saya melakukan perjalanan di masa lalu, saya merasakan perasaan itu, terutama perjalanan panjang yang melibatkan sedikit perasaan petualangan. Rasanya terakhir kali saya merasa seperti itu waktu dalam perjalanan ke Jerman pada tahun 2018. Saya melakukan perjalanan itu sendiri dari Surabaya, Indonesia, ke Hannover, Jerman, dan sudah hampir tengah malam ketika tiba di Hannover. Saya harus naik kereta api dari bandara ke hotel di pusat kota tanpa petunjuk bagaimana menuju ke hotel, jadi saya harus bertanya kepada beberapa orang. Masih benar-benar jelas di ingatan mengenai pikiran dan emosi yang saya alami ketika berjalan keluar dari stasiun kereta ke hotel sambil menyeret koper. Saya menoleh kiri-kanan, melihat bagaimana hanya ada sedikit orang di sekeliling, dan berpikir, “Ini tidak akan pernah aku alami di negaraku. Saya ragu bisa bepergian ke suatu tempat yang baru sendirian di tengah malam yang sangat sunyi dan TIDAK MERASA TAKUT sama sekali. ” Ya, saya tidak merasa takut sama sekali. Sebaliknya, saya merasa bebas! Untuk orang seperti saya yang masa kecilnya tumbuh dan berkembang di negara yang kebebasan dan rasa aman seperti itu untuk wanita sangat jarang, saya jadi sangat menghargai momen itu. Saya ingat waktu itu menghentikan langkahku selama beberapa menit, duduk di sebuah bangku di dekat situ, dan kemudian menghembuskan nafas lega.

Dengan kata lain, definisi pribadi saya tentang kebebasan adalah kemampuan untuk dapat melakukan sesuatu yang biasanya tidak dapat dilakukan karena batasan sosial yang sering dibuat oleh masyarakat untuk perempuan di negara saya. Orang lain mungkin memiliki definisi berbeda tentang kebebasan, tetapi ini milik saya, berdasarkan kisah saya di atas.

Tetapi saya belum menjawab pertanyaan saya tentang simbol kebebasan.

Sepertinya saya tidak memiliki suatu simbol khusus. Bagi saya, ini lebih tentang TINDAKAN, bisa melakukan sesuatu yang biasanya tidak bisa saya lakukan. Alasan saya tidak bisa melakukannya belum tentu karena ada aturan yang melarang, tetapi lebih karena persepsi saya, yang dipengaruhi oleh budaya yang saya serap secara sadar atau tidak sadar sepanjang hidupku.

Karena saya tidak memiliki banyak simbol kebebasan dalam bentuk tindakan yang dapat saya pikirkan, mungkin tugas saya selanjutnya adalah menemukan lebih banyak lagi TINDAKAN di mana saya dapat merasakan rasa bebas itu. Saya yakin punya lebih banyak. Mungkin hanya perlu mere-definisikan kembali tindakan-tindakan itu sebagai wujud kebebasan.

Kelekatan Duniawiku

 

Akhir-akhir ini aku banyak membaca tulisan-tulisan dari internet untuk membantu pemahaman diri. Ada satu artikel yang paling mengusikku dan membuat jari-jariku ingin menari lagi di atas laptop. Artikel itu mengenai non-attachment atau letting go, melepaskan kelekatan-kelekatan duniawi yang selama ini mengikat kita dalam bentuk keinginan-keinginan. Misalnya, keinginan untuk selalu sukses dan berhasil dalam pekerjaan, atau keinginan untuk diperlakukan sedemikian rupa dari pasangan. Saya ingin berfokus pada apa yang barusan ini saya alami terkait hubunganku dengan seseorang. Ini bukan tulisan yang mudah bagiku dan banyak orang yang tidak tahu mengenai ini, tapi aku akan mencoba untuk menyalurkan keluar apa yang aku alami sebisaku.

Salah satu kelekatan duniawiku adalah keinginan untuk dicari, diinginkan, dibutuhkan, diperhatikan. Tulisan ini bukan untuk memahami apa yang menyebabkan kelekatan itu padaku karena penyebab itu sudah pernah aku tuangkan di sarana lain dan juga karena penyebab itu personal buatku. Untuk saat ini, melalui tulisanku aku hanya bisa jujur mengenai kelekatan duniawiku, kerapuhanku.

Selama sekitar dua tahun terakhir ini aku menjalin hubungan dengan seseorang yang menurutku suatu hubungan roller-coaster, penuh naik dan turun, penuh gelombang, gejolak, tarik-menarik, kebimbangan, ketidakpastian. Mungkin bisa dikatakan bukan suatu hubungan yang sehat bagi kami berdua. Selalu ada yang mengganjal hubungan kami, seperti ada suatu ruang di tengah kami yang memisahkan. Saat berada di ruang kami sendiri-sendiri, maka kami baik-baik saja. Tapi begitu aku mencoba mendekati dan mulai masuk ke ruang yang di tengah kami itu, maka aku masuk ke ranah roller-coaster itu, naik turun, jatuh bangun, bagaikan sedang berada di tengah laut yang bergejolak dengan gelombang ombak yang besar menggoncang kami.

Bila aku telaah lagi dan melihat ke belakang, yang aku lihat menonjol dari sisiku adalah kelekatan-kelekatan yang aku sebut di atas itu, yang dengan berjalannya waktu berwujud tuntutan-tuntutan baginya. Dan karena cara kami berelasi dan juga mungkin karena kepribadian kami, entah bagaimana awalnya, pokoknya aku merasa keinginan-keinginanku itu tidak terkabulkan, dan itu malah tambah memicu lagi kekuatan dari kelekatan itu. Penafsiranku waktu itu adalah aku ditolak oleh dia, aku tidak diinginkan, aku tidak dibutuhkan, tidak diperhatikan, dan seterusnya. Parahnya, karena ini adalah suatu kelekatanku terhadap keinginan itu, yang terjadi bukannya aku pergi dan meninggalkan hubungan itu, aku malah bersikeras untuk lanjut terus dan kelekatanku juga semakin menjadi-jadi. Mungkin hampir mirip semacam obsesi jadinya bagiku di awal hubungan kami. Itu menjadi dance-ku dengannya selama mungkin dua tahun lebih. Aku bolak-balik antara menyalahkan diriku sendiri dan dia. Selama proses itu memang aku mencoba terus untuk menyadari diri, memperbaiki diri, dan seterusnya. Bacaan demi bacaan aku lahap, retret demi retret aku ikuti, dan memang aku merasa ada perubahan dalam diriku, bahwa aku menjadi lebih baik dengan berjalannya waktu. Akan tetapi, aku merasa tidak bisa memperbaiki diri lebih baik lagi bila terus berada dalam posisi dimana aku terus diingatkan akan kelekatanku.

Barusan ini aku diingatkan lagi betapa lemahnya aku dengan kerapuhanku. Masih banyak yang masih perlu aku pahami dan terus upayakan untuk belajar memahami diri dan memperbaiki diri. Jujur, aku kadang merasa sangat sangat lelah dengan semua proses ini. Jauh lebih mudah mungkin untuk menyerah saja, pergi saja, tinggalkan dia, tinggalkan semuanya. Tapi ada bagian dari diriku yang membisikkan untuk jangan menyerah, karena pasti ada makna indah dari semua ini. Hanya harapan itu yang bisa aku ingatkan diriku terus supaya tidak menyerah.

Apa yang akan terjadi dengan hubungan kami ini, entahlah. Sebagai bagian dari proses melepaskan kelekatan duniawi ini, aku juga mulai belajar melepaskan hal-hal yang tidak bisa aku kontrol, termasuk keinginannya dan keinginanku yang sepertinya tidak cocok. Belajar melepaskan, bukankah itu kuncinya? Maka apa yang akan terjadi, terjadilah. Ini sudah pernah aku katakan kepada diriku sebelumnya, tapi mungkin bedanya antara perkataanku yang dulu dan yang sekarang adalah…sekarang ini aku lelah sekali. Aku sudah capek jatuh terus. Aku capek kecewa terus. Aku capek karena kepalaku terbentur terus karena memilih untuk berjalan secara buta. Aku capek karena memilih untuk terus berada dalam posisi “menginginkan” dan berharap dia akan menerimaku, menginginkanku, mencariku, dst. Mungkin kelelahan inilah yang akhirnya membuatku sadar bahwa ini saatnya bagiku untuk melepaskan semua harapan itu, karena semua kelekatan itu menjadi sumber ketidakbahagiaanku.

Apakah aku masih mencintainya? Dulu aku pernah mengatakan bahwa aku bingung, tidak tahu sebenarnya alasan aku berpegang terus padanya dan hubungan itu — apakah karena aku memang mencintainya atau karena tidak ingin melepaskan rasa ingin menguasai hubungan itu yang dipengaruhi oleh ketakutanku untuk ditinggal atau ditolak. Saat ini, aku sadar bahwa selama ini yang lebih kuat mempengaruhi keputusanku untuk terus lanjut adalah alasan kedua, yaitu tidak ingin melepaskan. Ketakutanku akan “kesendirian” tanpa ada yang mencintai dan menerimaku jauh lebih kuat selama ini. Tapi, dalam beberapa hari ini dengan lebih banyak waktu untuk merenung, yah, aku menyadari memang ketakutan itu ada dan sudah aku temukan dan bawa ke alam sadarku. Akan tetapi, aku juga menyadari masih ada rasa sayang yang tersisa. Apakah itu cinta? Mungkin. Apakah itu akan cukup kuat untuk bertahan dan dengan berjalannya waktu akan semakin kuat untuk mengalahkan kerapuhanku? Hanya waktu yang bisa menjelaskan.

Namaste.

 

Tulisan di atas terinspirasi oleh: The Art of Non-Attachment: How to Let Go and Experience Less Pain by Lachlan Brown di Hackspirit.com

 

 

Aku dan Senja

 

Ada sesuatu yang selalu mengusikku saat bertatapan langsung dengan senja. Aku dan senja, seperti dua orang yang saling menginginkan, merindukan, tapi tidak akur bila bertemu. Bisa dikatakan, senja denganku memiliki love and hate relationship.

Sebenarnya aku punya kisah cinta juga nih. Mungkin suatu waktu bisa dibuat cerpen. Siapa tahu laku, terus jadi pilem. Judulnya AADS: Ada Apa Dengan Senja?

No? Kurang kreatif? Ya udah, batal.

Tapi entah mengapa, melihat nuansa di sekeliling menjadi kuning kejingga-jinggaan seperti suasana di sekelilingku sekarang ini…sangat menoreh hati. Bagiku, warna kuning itu memberi kesan sudah waktunya untuk melepas beban, lelah, untuk masuk ke kandang, mundur, meringkuk. Warna itu menandai waktuku untuk menunggu, dan akhirnya, semuanya akan reda juga, selesai.

Senja adalah saatnya untuk hati berkuasa.

Saat senja, aku merasakan keinginan untuk menarik diri yang sepertinya sedang berkonflik dengan keinginan lain, yaitu keinginan untuk hari terus berlanjut, belum waktunya usai. Dalam genggaman tangganku, kupegang erat semua kesibukan, kegembiraan, keberadaan, kebersamaan yang terjadi hari itu. Belum sudi kulepaskan kenangan hari itu. Belum ikhlas, sehingga akhirnya semua kenangan itu hanya menggigit tanganku, merambat ke seluruh badan. Saat sampai di hati, sudah terlanjur, tidak bisa kubalikkan kembali. Maka perasaanpun akhirnya menguasai, mengambil alih kendali dari pemikiran yang kupakai seharian. Senja adalah saatnya untuk hati berkuasa.

Senja memang berbeda dengan pagi hari. Cakrawala yang berubah dari gelap ke terang saat fajar, memberi kesan bersemangat untuk memulai sesuatu yang baru. Fajar memberi harapan, walaupun sebenarnya fajar kadang hanya bermain dengan harapan kita itu. Warna fajar juga berbeda dengan senja. Yang pasti, bukan kuning yang kurasakan saat fajar, tapi bukan hitam pula. Gelap saat sebelum mentari menunjukkan diri itu berbeda dengan gelapnya malam yang digotong senja. Aku melihat warna biru saat fajar, yang kemudian berangsur-angsur menjadi semakin pudar karena bercampur putih dengan berjalannya waktu. Kesan biru yang cerah itu, dengan membayangkannya saja, sudah mampu merekah senyum di wajah. Indah nian memang.

Sore tidak merekahkan senyum bagiku; kebalikannya, mengusir pergi. Hal ini sudah kurasakan sejak kecil. Setiap mengingat bagaimana kuhabiskan sebagian besar masa kecilku di sore hari, perasaan yang sama sudah melekat sejak saat itu ternyata. Sore bagi masa kecilku identik dengan selalu berada di rumah, berpisah dari teman-teman sekolah, menjalani rutinitas di rumah. Suatu catatan kaki unik dalam kisah cintaku dengan senja, senja adalah waktu untukku kembali berkutat dengan kesendirian. Masa kecilku di rumah lebih sering kuhabiskan berjalan sendirian di dalam isi kepalaku, walaupun ada orang-orang lain yang tinggal di sekelilingku.

Skenario demi skenario kususun dengan rapi. Selalu sebuah drama, dengan aku salah satu pemainnya tentu saja. Tokoh-tokoh yang lain, yah apa adanya. Biasanya dari film-film cerita silat yang kucandui saat itu. Kuingat ada sebuah cermin besar di kamarku yang menjadi saksi bisu atas semua peran yang sudah pernah kumainkan. Aku yang bertalenta ganda (hanya untuk saat itu), berfungsi sebagai sutradara, aktor, dan juga juru rias dan busana.

Tak satupun dari keluargaku yang tahu dengan caraku menyibukkan diri. Tidak ada orang lain selama masa kecilku yang bisa kubagikan isi kepalaku. Bagaimana bisa, saat terbangun dari tidur siang, rumah lebih sering kutemukan dalam keadaan sunyi yang sangat menyengit (#katamemori). Semua sedang beristirahat di kamar masing-masing, sibuk dengan keinginan atau kebutuhan masing-masing.

Kesunyianlah yang lebih sering menyapaku di sore hari.

Kesunyianlah yang lebih sering menyapaku di sore hari. Aku ingat sangat benci dengan perasaan itu. Sungguh tidak menyenangkan. Anehnya, waktu kecil, tak pernah kukaitkan kesunyian itu dengan kesedihan. Baru ketika aku masuk di masa dewasa, perlahan-lahan kumaknai sunyi dan sendiri itu sebagai sebuah sinonim dari kesedihan yang berbentuk kesepian.

Dan sekarang, kuning telah berganti hitam kelam di luar sana, dan sunyipun bertambah seru dalam gigitannya, menusuk. Lengkingan suara serangga malam makin keras terdengar, saling bersahutan. Malah mereka yang bebas berteriak, berpesta, karena malam adalah waktu untuk mereka berpentas. Senja mungkin adalah seorang sahabat bagi mereka, karena senja menandakan sudah hampir tiba waktu untuk keluar dari persembunyian, bermain, dan bebas lepas. Kadang aku cemburu dengan serangga-serangga itu. Kenapa aku tidak bisa seperti mereka? Menyambut sore dengan tangan terbuka, dengan senyum merekah di wajah, sama seperti kita manusia menerima kedatangan fajar. Kenapa aku harus menyambut senja dengan hati tertusuk?

Tapi aku juga mencintai senja. Walaupun kedatangannya membawa perih, senja membawa suatu ketenangan. Senja datang dengan kepastian dalam langkahnya. Terlihat kesungguhan dan ketegasan. Bila waktunya gelap, maka gelap akan datang — senja tak pernah gagal mengenai itu. Senja pasti akan membawa gelap. Sebagai perbandingan, fajar belum tentu akan membawa terang sesuai yang kita inginkan. Bukan senja namanya kalau kegelapan tidak membayangi langkahnya dari belakang. Tak apa, aku bisa menerima itu, karena itu adalah suatu bentuk kepastian, bukan hanya janji palsu. Dalam hidup, suatu hal yang sudah pasti adalah kegelapan, bukan ke-terang-an. Gelap pasti akan datang, suatu waktu, di bagian akhir. Dengan sendu dan perih itu, paling tidak aku tahu bahwa aku masih hidup, masih bisa merasakan. Dengan kegelapan itu, paling tidak aku tahu bahwa aku bisa berhenti sejenak, istirahat. Ada kenikmatan saat meringkuk di kegelapan.

Dan satu hal lagi yang membuatku mau menerima senja. Aku tahu, malam yang dibawa oleh senja punya pesona tersendiri.

felix-plakolb-137007

Image by Felix Plakolb from unsplash.com.

Kunanti datangnya malam,

karena hanya dalam kegelapan,

sosoknya sayup terlihat.

Mereka,

pembawa cahaya

penakluk gelap

penguasa buana.

ganapathy-kumar-163082.jpg

Image by Ganapathy Kumar from unsplash.com

 

Featured Image by John Towner from unsplash.com

Defense Wall of Depression

I found out from my experience that most people don’t feel comfortable when facing a person who has a depression or a melancholic person. I first discovered this long time ago. Those who I have came out to about my depression and they still managed to stand there listening to my story (instead of running away) were actually a few friends who have psychological background or friends who happen to be mature enough to accept it. They were not that many though. For most people, they still looked uncomfortable when I mentioned about it. One person, whom I did not even tell about the depression but somehow managed to guess it, said that I have “self-pity.” And from then on, whenever I disagreed or got angry a little bit at him, those two words would show up. It got to be comical, really. I actually thought perhaps I have gained a new nickname. How did he manage to guess it? Who knows. Something in the way I carry myself, the way I talk, my thought process, whatever clue it was, I honestly don’t really know for sure. I guess we humans have a tendency to think that we know other people better than they know themselves. That is how assumption is made. We assume we know.

If I have to put myself in those other people’s shoes, I understand why they would feel uncomfortable. Depression is the most common mental illness out of all mental illnesses, but it’s the least talked about. Why is that? Because the stigma is still there, felt by us who have experienced depression. We feel embarrassed. We feel ashamed by having it. We feel that we may become a burden to others. We are afraid that people will look down on us for having it. We think that people will not understand us, or it. We fear that we will have repercussion as a result of coming out with the fact that we have a mental illness. I know what I don’t like the most. I don’t like it when people would then look at me with a sympathy look on their face after I told them about it. A part of me thinks that that look is like a form of sarcasm actually, not a real sympathy. I’m fully aware that I’m not being fair by saying that the sympathy look and statement are not genuine because they may actually be genuine. But it’s because my defensive wall is up and preventing me from taking it kindly.

Please do understand, just like with all physical illnesses out there, a person’s body automatically enters a defensive zone mode whenever a bacteria enters the body or an old virus is acting out again. The same with us who suffer from chronic mental illness with an episode that comes and goes, when we think our old “ghost” is back, we mentally goes into a defensive mode too. We search around us for who are the people that we can trust to tell our problem and who we should stay away from. We become better at that over time. We pick carefully who we can open up to. I, myself, have experienced this and have seen the same phenomenon with people who have come to me to share their stories. They came to me NOT because they knew I have dealt with a mental problem before too, but they must have seen something in me that they thought they could open up to. It’s their defense radar who did the work.

And that is what I meant by having that defense wall up. We will know if the sympathy statement is genuine or not. The wall is up in order to protect us, to recognize the genuine people whom we can trust over the ones who may cause us more harm–whether intentionally (using our mental illness to bully us) or unintentionally (saying stupid, wrong, or insensitive things accidentally). The wall is up because we don’t want to crumble in front of a wrong person, or at a wrong time and place. The example of “that’s self-pity” or “that’s self-pity again” statement is what I consider as unintentional. I’m positive that the person saying it did not mean any harm to me, but at that time, those short statements hurt. Whether they were true or not, they still hurt. In actuality, I admit that they were true. I do have the self-pity, and it is something that I struggle with until now. It is not something that will go away in a short time. Needless to say, after the very first time I was called “self-pity,” I entered into a restless sleep later that night with a disturbing dream that woke me up in tears.

We never know how our words will affect others, even though those comments may be true. I’m positive that I’ve been guilty of saying the wrong things to other people many times too. I just hope that we all can forgive each other as much as we forgive try to forgive ourselves.

And so the road to healing and the stories continue… God bless.

Fighting Depression

 

An old enemy is back, officially. Is it an enemy or a friend? Actually, I’m not too sure, but the most important thing is, it is back. It has a name. It’s called depression. I’ve known it well. Had met it before, a few times.

A friend or a foe, whatever it is, I am fighting it. It’s crippling for sure. It’s trying to take me down. Sorry, bud. You are still a foe, an enemy, I think. Because then why would I have to fight you?

Perhaps my angel is keeping an eye on me, because an old friend sent me a video yesterday. I watched it today and it was about fighting depression. Coincidence? Serendipity? I don’t think so. Things happen for a reason. The video is about a drug that can possibly be used to PREVENT depression and PTSD. Prevent! Instead of waiting for the enemy to come back, it can be prevented from showing up at all. But hold on the excitement, it will still take years for it probably to be available because it was just recently discovered. Oh well.

Here is the link to the video titled “Could a Drug Prevent Depression and PTSD?

This essay is also a testimony for something that I admit I have, that this thing has a way to creep into my daily life once in a while. I would like to say that it is okay to have it. It’s something that I have accepted, although I know it doesn’t come without a fight. It’s a debilitating thought process, but I know I can get through it. And for my readers and friends out there, I want you to know that there are things we all can do to manage depression. You can find many videos that talk about this.

For me and what I can do in this fight against depression, I would like to share some of my writings in the future that may touch on this issue, particularly about the process of debilitating thinking process that is often experienced in cases of depression. Depression is about a thinking process that can go out of control and lead to decisions and actions that may cause more suffering in the end. Depression is a mental illness, it needs to be paid attention to, but we don’t have to succumb to it. That debilitating thinking process can be recognized and handled, although it will take plenty of practices, many failures, before mastering it.

God bless you, God bless us all.